BATU Qur’an. Dari namanya pastilah yang
terbayang adalah sebuah batu di mana terdapat tulisan ayat suci Al Qur’an.
Apakah tulisan ayat suci al-Qur’an pada batu itu dapat dilihat dengan kasat
mata? Saya jadi penasaran ingin melihat secara langsung.Sesampainya di Cibulakan, sekitar 20
kilometer dari kota
Pandeglang, Banten, saya langsung mendatangi lokasi di mana Batu Qur’an itu
berada. Ternyata mata telanjang saya sama sekali tidak bisa melihat tulisan
ayat suci al-Qur’an pada batu tersebut
Selain batu tersebut terendam dalam
kolam air, permukaan batu juga sudah ditumbuhi lumut. Saya menduga lumut
tersebut sudah menutupi tulisan al-Qur’an. Seorang pria yang tengah berendam di
dekat batu tersebut mengatakan,”kalau mau lihat tulisannya harus pakai kaca
pembesar”.
Tetapi, menurut seorang penjaga bernama
Sodiqin, secara kasat mata batu tersebut akan terlihat seperti batu pada
umumnya. Dan katanya, dengan cara apapun dan dengan alat apapun tidak akan bisa
terlihat tulisan al-Qur’an di batu tersebut.
“Tulisan Al Qur’an pada batu itu hanya
bisa dilihat dengan mata batin,” katanya. Itu artinya, lanjut Sodiqin, hanya
orang dengan hati dan jiwa yang bersih bisa melihat tulisan al-Qur’an pada batu
tersebut. Itupun terlebih dahulu harus melakukan beberapa proses ritual,
seperti berpuasa, shalat, dzikir dan memanjatkan doa kepada Allah SWT. “Sebab,
hanya atas izin Allah seseorang bisa melihat,” tambahnya.
Para
peziarah yang datang meyakini air dari kolam Batu Qur’an memiliki khasiat
sebagai obat. Kemudian, bagi yang bisa menyelam dan berenang sambil mengitari
batu Qur’an sebanyak tujuh kali, permintaannya akan terkabul. Masih banyak
hal-hal lain yang diyakini para peziarah. Namun, yang paling meyakinkan adalah
Batu Qur’an berkaitan erat dengan nama Syekh Maulana Mansyur, seorang ulama
terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.
Tapi sebenarnya, Batu Qur’an di
Cibulakan adalah replika dari Batu Qur’an yang ada di Sanghyang Sirah, Taman
Nasional Ujung Kulon. Batu Quran di Sanghyang Sirah berkaitan erat dengan
sejarah Sayidina Ali, Prabu Kian Santang dan Prabu Munding Wangi. Prabu Kian
Santang “diislamkan” oleh Sayidina Ali ketika beliau melakukan perjalanan ke
jazirah Arab.
Singkat kisah, Sayidina Ali ingin
menemui Prabu Kian Santang di Godog Suci, Garut, untuk mengajarkan Islam dan
menyerahkan Kitab Suci al-Quran. Sayangnya, Prabu Kian Santang telah pergi ke
Sanghyang Sirah, Ujung Kulon, untuk menemui ayahandanya, Prabu Munding Wangi.
Prabu Kian Santang ingin menyampaikan bahwa dirinya sudah menjadi seorang
muslim.
Sayidina Ali lalu menyusul ke Sanghyang
Sirah. Tapi, sampai di tempat tujuan, Syaidin Ali hanya bisa bertemu Prabu
Munding Wangi. Prabu Munding Wangi mengatakan kepada Sayidina Ali kalau Prabu
Kian Santang telah pergi lagi dan menghilang entah ke mana setelah mendapat
restu dari ayahandanya.
Akhirnya Sayidina Ali menitipkan kitab
al-Qur’an untuk diberikan kepada Prabu Kian Santang apabila suatu saat
berkunjung ke Sanghyang Sirah. Prabu Munding Wangi menerima kitab al-Qur’an
dengan lapang dada dan disimpannya di dalam kotak batu bulat. Kemudian kotak
batu berisi al-Qur’an tersebut ditaruh di tengah batu karang yang dikelilingi
oleh air kolam yang sumber airnya berasal dari tujuh sumber mata air (sumur).
Sebelum pergi dari Sanghyang Sirah,
Sayidina Ali mohon sholat terlebih dahulu di atas batu karang yang sekarang
sering disebut Masjid Syaidinna Ali. Dengan kuasa Allah SWT, Sayidina Ali
langsung menghilang entah ke mana. Mungkin kembali ke jazirah Arab.
Peristiwa Batu Qur’an ini beberapa abad
kemudian diketahui oleh Syekh Maulana Mansyur berdasarkan ilham yang didapatnya
dari hasil tirakat. Segeralah Syekh Maulana Mansyur berangkat ke Sanghyang
Sirah. Betapa kagumnya Syekh Maulana Mansyur melihat kebesaran Allah lewat
mukjizat Batu Qur’an di mana dari air kolam yang bening terlihat dengan jelas
tulisan batu karang yang menyerupai tulisan al-Qur’an.
Karena jauhnya jarak Sanghyang Sirah
dan membutuhkan waktu dan energi yang luar biasa, maka untuk memudahkan anak
cucu atau pun umat Islam yang ingin melihat Batu Qur’an maka dibuatlah replika
Batu Qur’an dengan lengkap sumur tujuhnya di Cibulakan Kabupaten Pandeglang.
Saat ini saja untuk menuju Sanghyang Sirah lewat Taman Jaya membutuh waktu 2
hari satu malam dengan berjalan kaki dan membutuhkan waktu 5 jam dengan
menggunakan kapal laut dari Ketapang, Sumur menuju Pantai Bidur yang
dilanjutkan berjalan kaki selama hampir 1 jam menuju Sanghyang Sirah. Bisa
dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesana pada
jamannya Syekh Maulana Mansyur.